Senin, 07 Desember 2015

Riview Buku Manajemen Pondok Pesantren






Judul Buku           : Manajemen Pesantren
Penulis                  : Sulton Masyhud
                                Khusnurdilo
Penerbit                : Diva Pustaka
Tahun Terbit         :  2005
Halaman               : 198 halaman.


MANAJEMEN PESANTREN
Manajemen Pesantren? Apa perlu pesantren menerapkan manajemen? Kalau ya, manajemen yang bagaimana?
Kita mafhum bahwa pesantren lekat dengan figur Kiai. Kiai dalam pesantren adalah figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Oleh sebab itu, perubahan atau inovasi apapun yang dilakukan di pesantren semestinya berangkat dari “kemauan” pihak pesantren sendiri, dalam hal ini kiai memegang peranan penting.
Banyak contoh pesantren yang maju disebabkan karena sentuhan inovasi yang dilakukan kiai sendiri. Pernyataan ini bukan bukan berarti menafikan pengaruh dari luar. Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970-an pernah melancarkan  modernisasi pesantren yang diarahkan pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih reponsif terhadap kebutuhan tantangan zaman ( pembangunan). Selai itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai slah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai. Melalui gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar menjadi lembaga pendidikan, tetapi sekaligus menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitarnya.
Menghadapi gagasan modernisasi tersebut, respon dunia pesantren tampak terbelah. Sebagian pesantren menolak campur tangan pemerintah dalam pendidikan pesantren karena dianggap bakal mengancam eksistensi pendidikan khas pesantren. Khas lain lebih menerapkan “ kebijakan hati-hati” tetapi sebagian besar pesantren memberikan respon adaptif dengan mengadopsi sistem persekolahan ( baik berbentuk madrasah maupun sekolah umum) meskipun sebagai konsekueni logis, melepaskan sebagian esensial dari fungsi tradisional mereka sebagai lembaga pendidikan yang emalkukan transfer ilmu-ilmu agama ( tafaqquh fi aldin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values) .
Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan luar biasa dengan variasi yang sangat beragam. Bahkan beberapa pesantren telah mucul bak sebuah “ kampus Mercusuar” yang memiliki berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan material. Meskipun tetap mempertahankan dan keaslian isi ( curriculum content) yang sudah ada, misalnya sorogan dan bandongan, kebanyakan pesantren mengadopsi sistem persekolahan yang klasikal-formal.
Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan formal, beberapa pesantren juga mulai menerapkan manajemen modern yang ditandai dengan pola kepemimpinan yang distributif, organisasi yang terbuka,  dan administrasi pengelolaan keuangan yang transparan. Meskipun jumlah pesantren yang menerapkan pola ini sangat kecil, perkembangan ini tentu menarik untuk dicermati. Dari beberapa kasus, perkembangan ini dimulai dari perubahan gaya kepemimpinan pesantren; dari kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter-paternalistik ke diplomatik-partisipatif, atau dari laissez faire ke demokratik. Sebagai contoh kasus, kedudukan “Dewan Kiai” di Pesantren Tebu irengmenjadi bagian atau salah satu unit kerja kesatuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren, sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit pesantren dan tidak terlalu terpusat pada kiai. Pegaruh sistem pendidikan formal menurut kejelasan pola hubungan dan pembagian kerja diantara unit-unit kerja.
Kasus lain, beberapa pesantren sudah membentuk badan pengurus harian sebagai “lembaga Payung” yang khusus mengelola dan menangani kegiatan-kegiatan pesantren, misalnya pendidikan formal, diniyah, pengajian majlis ta’lim, sampai pada masalah penginapan ( asrama ) santri, kerumahtanggaan, kehumasan, dan sebagainya. Pada type pesantren ini pembagian kerja antar unit sudah berjalan dengan baik, meskipun tetap saja kiai memiliki pengaruh yang kuat.
Sayangnya, perkembangan tersebut tidak merata disemua pesantren. Secara umum pesantren masih menghadapi kendala serius menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia profesional, misalnya tiada pemisahan yang jelas antara yayasan , pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi; tidak adanya transparansi pengelola sumber-sumber keuangan, belum terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan; dan banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar, serta unit-unit kerja tidak berjalan sesuai dengan aturan organisasi. Kiai masih merupakan figur sentral dan penentu kebijakan pendidikan pesantren.
Keadaan ini jika ditilik dari sudut pandang manajemen modern memang kurang baik. Namun, pernyataan ini harus dikatakan secara hati-hati. Sebab, kultur pesantren tidak bisa dilihat secara hitam-putih dab dipertentangkan dengan kultur modern. Bagi sebagian pengasuh pesantren barangkali ada beban psikologis untuk menerapkan begitu saja manajemen modern. Hubungan personal yang begitu lekat di pesantren tidak bisa diganti dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam manajemen modern. Hubungan kiai-santri, atau kiai dan masyarakat selama ini terbangun dari hubungan personal dan spiritual. Bantuan masyarakat yang diberikan kepada pesantren kerap kali tanpa ada perjanjian hitam diatas putih alias ikhlas dan lillahita’ala. Masyarakat tidak mempersoalkan apakah bantuan itu sampai atau tidak kepada yang berhak karenakepercayaan kepada kiai jauh lebih besar dan mengalahkan kecurigaan. Begitu halnya kiai yang menerima amanah akan mempergunakan bantuan itu untuk kepentingan pesantren, terlepas bagaimana dan cara apa mendistribusikannya.
Kerumitan dan permasalahan ini menyebabkan antara normativitas dan kondisi obyektif pesantren ada kesenjangan, termasuk dalam penerapan teori manajemen pendidikan. Semata-mata berpegangan pada normativitas dengan mengabaikan kondisi obyektif yang terjadi dipesantren adalah tindakan kurang bijaksana, kalau tidak dikatakan gagal memahami pesantren. Akan tetapi, membiarkan kondisi itu berjalan terus tanpa ada pembenahan juga tidak arif. Di sini penerapan manajemen pendidikan tidak bisa serta merta diterapkan tanpa mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang riil dipesantren. Harus ada toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara wajar tanpa mengundang konflik.

PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN
Pegembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-garis Besar haluan Negara. Oleh karena itu, pengembangan tersebut hendaknya mengakomodasi tuntutan-tuntutan sistematik ( Depdiknas, Depag/Pekapontren) dan lebih-lebih tuntutan-tuntutan sosiologis masyarakat Indonesia. Visi tersebut secara rinci  mencakup terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki ettos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Secara konseptual, sebenarnya lembaga pesantren optimis akan mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan nasional diatas, karena fleksibilitas dan keterbukaan sistematik yang melekat padanya. Dengan kata lain, perwujutan masyarakat berkualitas diatas dapat dibangun melalui perubahan kurikulum pesantren yang berusaha membekali peserta didik untuk menjadi subyek pembangunan yang mampu mmenampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, dan profesional pada biidangnya masing-masing. Namun, perlu diingat bahwa kurikulum hanya merupakan salah satu subsistem lembaga pesantren, proses pengembangannya tidak boleh bertentangan dengan kerangka penyelenggaraan pesantren yang dikenal khas, baik dalam isi da pendekatan yang digunakan.
Realitas menunjukkan saat ini lembaga pesantren telah berkembang secara bervariasi baik dilihat dari segi isi ( kurikulum ) dan bentuk / manajemen / struktur organisasinya. Hasan Basri 9 dalamNata, 2001;120-1210) menggambarkan lembaga non formal ini kedalam lima pola, yakni (1) pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kiai; (2) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok atau asrama; (3) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah; (4) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan dan (5) pesantren yng terdiri dari masjid,rumah kiai, pondok,madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pesantren pola pertama lebih sederhana, dimana kiai menggunakan masjid atau rumahnya untuk mengajar, santri datang dari sekitar pondok dengan metode wetonan dan sorogan. Latar berdirinya pun pola pesantren ini biasanya karena inisiatif kiainya pribadi, tetapi sering pula karena adanya pihak sponsor, yakni tokoh atau anggota masyarakat yang mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan menjadi pesantren. Pesantren pola kedua, sedikit lebih maju, dilengkapi dengan pondok dan asrama untuk mukim para santri yang datang dari tempat lain, dengan metode pengajaran yang sama dengan pola pertama. Pola ketiga mulai mengkombinasikan sistem salaf dan moderen, dengan memakai sistem klasikal, dimana santri dapat datang dari mereka yang mukim didalam maupun mereka yang datang dari rumah masig-masing. Pola keempat merupakan perkembangan pola ketiga, di mana di samping menyelenggarakan sistem madrasah/klasikal juga menyiapkan latihan keterampilan kecakapan hidup ( life skills), misalnya: pertanian, peternakan, kerajinan tangan, bengkel, dan sebagainya. Adapun pola kelima tampil lebih lengkap dan evolusif dibandingkn dengan pola-pola sebelumnya, yang mendorong dilakukannya redefinisi tentang konsep pesantren pertamakali.
Selain unsur-unsur kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur organisasinya. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren meliputi potensi yang kompleks. Setiap pesantren akan memiliki corak yang khas , dilihat dari ;(1) status kelembagaan; (2) struktur organisasi ; (3) gaya kepemimpinan; dan (4) kaderisasi atau regenerasi kepemimpinannya. Dilihat dari statusnya sebuah lembaga pesantren dapat menjadi milik perorangan atau lembaga / yayasan yang menampilkan perpektif berbeda dalam merespon sistem pendidikan nasional. Kedua maca status pesantren memberikan implikasi berdeda pula terhadap struktur organisasi pesantren. Pesantren milik pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana dibandingkan dengan pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultus pesantren relatif berbeda antara keduanya . yang pertama lebih menonjolkan tanggung jawab untuk melestarikan nilai absolut pesantren dengan kiai sebagai sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren; sedangkan yang kedua lebih memperhatikan manajemen, dimana beberapa tugas pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian pekerjaan yang disepakati ( job discription).
Apapun polanya, lembaga pesantren di Indonesia saat ini telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat, termasuk dicantumkan pesantren dalam GBHN dan UU Sisdiknas utuk ditangani secara khusus. Untuk merespon kebijakan pemerintah tersebut, departemen agama RI melalui Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam telah menambah direktorat baru yang menangani pesantren, yakni; Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapotren). Hal ini mengandung implikasi bahwa dimasa mendatang pesantren sebagai pendidikan alternatf akan memiliki peluang besar untuk berperan sebagai agen pembangunan nasional. Oleh karena itu, secara terus menerus lembaga tersebut perlu ditingkatkan dan dikembangkan kapasitasnya dalam menyiapkan SDM Indonesia berkualitas. Salah satu upayanya adalah melalui pengembangan kurikulum pesantren secara sistematik, terencana dan bertujuan.