Senin, 07 Desember 2015

Riview Buku Manajemen Pondok Pesantren






Judul Buku           : Manajemen Pesantren
Penulis                  : Sulton Masyhud
                                Khusnurdilo
Penerbit                : Diva Pustaka
Tahun Terbit         :  2005
Halaman               : 198 halaman.


MANAJEMEN PESANTREN
Manajemen Pesantren? Apa perlu pesantren menerapkan manajemen? Kalau ya, manajemen yang bagaimana?
Kita mafhum bahwa pesantren lekat dengan figur Kiai. Kiai dalam pesantren adalah figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Oleh sebab itu, perubahan atau inovasi apapun yang dilakukan di pesantren semestinya berangkat dari “kemauan” pihak pesantren sendiri, dalam hal ini kiai memegang peranan penting.
Banyak contoh pesantren yang maju disebabkan karena sentuhan inovasi yang dilakukan kiai sendiri. Pernyataan ini bukan bukan berarti menafikan pengaruh dari luar. Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970-an pernah melancarkan  modernisasi pesantren yang diarahkan pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih reponsif terhadap kebutuhan tantangan zaman ( pembangunan). Selai itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai slah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai. Melalui gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar menjadi lembaga pendidikan, tetapi sekaligus menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitarnya.
Menghadapi gagasan modernisasi tersebut, respon dunia pesantren tampak terbelah. Sebagian pesantren menolak campur tangan pemerintah dalam pendidikan pesantren karena dianggap bakal mengancam eksistensi pendidikan khas pesantren. Khas lain lebih menerapkan “ kebijakan hati-hati” tetapi sebagian besar pesantren memberikan respon adaptif dengan mengadopsi sistem persekolahan ( baik berbentuk madrasah maupun sekolah umum) meskipun sebagai konsekueni logis, melepaskan sebagian esensial dari fungsi tradisional mereka sebagai lembaga pendidikan yang emalkukan transfer ilmu-ilmu agama ( tafaqquh fi aldin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values) .
Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan luar biasa dengan variasi yang sangat beragam. Bahkan beberapa pesantren telah mucul bak sebuah “ kampus Mercusuar” yang memiliki berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan material. Meskipun tetap mempertahankan dan keaslian isi ( curriculum content) yang sudah ada, misalnya sorogan dan bandongan, kebanyakan pesantren mengadopsi sistem persekolahan yang klasikal-formal.
Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan formal, beberapa pesantren juga mulai menerapkan manajemen modern yang ditandai dengan pola kepemimpinan yang distributif, organisasi yang terbuka,  dan administrasi pengelolaan keuangan yang transparan. Meskipun jumlah pesantren yang menerapkan pola ini sangat kecil, perkembangan ini tentu menarik untuk dicermati. Dari beberapa kasus, perkembangan ini dimulai dari perubahan gaya kepemimpinan pesantren; dari kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter-paternalistik ke diplomatik-partisipatif, atau dari laissez faire ke demokratik. Sebagai contoh kasus, kedudukan “Dewan Kiai” di Pesantren Tebu irengmenjadi bagian atau salah satu unit kerja kesatuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren, sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit pesantren dan tidak terlalu terpusat pada kiai. Pegaruh sistem pendidikan formal menurut kejelasan pola hubungan dan pembagian kerja diantara unit-unit kerja.
Kasus lain, beberapa pesantren sudah membentuk badan pengurus harian sebagai “lembaga Payung” yang khusus mengelola dan menangani kegiatan-kegiatan pesantren, misalnya pendidikan formal, diniyah, pengajian majlis ta’lim, sampai pada masalah penginapan ( asrama ) santri, kerumahtanggaan, kehumasan, dan sebagainya. Pada type pesantren ini pembagian kerja antar unit sudah berjalan dengan baik, meskipun tetap saja kiai memiliki pengaruh yang kuat.
Sayangnya, perkembangan tersebut tidak merata disemua pesantren. Secara umum pesantren masih menghadapi kendala serius menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia profesional, misalnya tiada pemisahan yang jelas antara yayasan , pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi; tidak adanya transparansi pengelola sumber-sumber keuangan, belum terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan; dan banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar, serta unit-unit kerja tidak berjalan sesuai dengan aturan organisasi. Kiai masih merupakan figur sentral dan penentu kebijakan pendidikan pesantren.
Keadaan ini jika ditilik dari sudut pandang manajemen modern memang kurang baik. Namun, pernyataan ini harus dikatakan secara hati-hati. Sebab, kultur pesantren tidak bisa dilihat secara hitam-putih dab dipertentangkan dengan kultur modern. Bagi sebagian pengasuh pesantren barangkali ada beban psikologis untuk menerapkan begitu saja manajemen modern. Hubungan personal yang begitu lekat di pesantren tidak bisa diganti dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam manajemen modern. Hubungan kiai-santri, atau kiai dan masyarakat selama ini terbangun dari hubungan personal dan spiritual. Bantuan masyarakat yang diberikan kepada pesantren kerap kali tanpa ada perjanjian hitam diatas putih alias ikhlas dan lillahita’ala. Masyarakat tidak mempersoalkan apakah bantuan itu sampai atau tidak kepada yang berhak karenakepercayaan kepada kiai jauh lebih besar dan mengalahkan kecurigaan. Begitu halnya kiai yang menerima amanah akan mempergunakan bantuan itu untuk kepentingan pesantren, terlepas bagaimana dan cara apa mendistribusikannya.
Kerumitan dan permasalahan ini menyebabkan antara normativitas dan kondisi obyektif pesantren ada kesenjangan, termasuk dalam penerapan teori manajemen pendidikan. Semata-mata berpegangan pada normativitas dengan mengabaikan kondisi obyektif yang terjadi dipesantren adalah tindakan kurang bijaksana, kalau tidak dikatakan gagal memahami pesantren. Akan tetapi, membiarkan kondisi itu berjalan terus tanpa ada pembenahan juga tidak arif. Di sini penerapan manajemen pendidikan tidak bisa serta merta diterapkan tanpa mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang riil dipesantren. Harus ada toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara wajar tanpa mengundang konflik.

PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN
Pegembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-garis Besar haluan Negara. Oleh karena itu, pengembangan tersebut hendaknya mengakomodasi tuntutan-tuntutan sistematik ( Depdiknas, Depag/Pekapontren) dan lebih-lebih tuntutan-tuntutan sosiologis masyarakat Indonesia. Visi tersebut secara rinci  mencakup terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki ettos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Secara konseptual, sebenarnya lembaga pesantren optimis akan mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan nasional diatas, karena fleksibilitas dan keterbukaan sistematik yang melekat padanya. Dengan kata lain, perwujutan masyarakat berkualitas diatas dapat dibangun melalui perubahan kurikulum pesantren yang berusaha membekali peserta didik untuk menjadi subyek pembangunan yang mampu mmenampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, dan profesional pada biidangnya masing-masing. Namun, perlu diingat bahwa kurikulum hanya merupakan salah satu subsistem lembaga pesantren, proses pengembangannya tidak boleh bertentangan dengan kerangka penyelenggaraan pesantren yang dikenal khas, baik dalam isi da pendekatan yang digunakan.
Realitas menunjukkan saat ini lembaga pesantren telah berkembang secara bervariasi baik dilihat dari segi isi ( kurikulum ) dan bentuk / manajemen / struktur organisasinya. Hasan Basri 9 dalamNata, 2001;120-1210) menggambarkan lembaga non formal ini kedalam lima pola, yakni (1) pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kiai; (2) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok atau asrama; (3) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah; (4) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan dan (5) pesantren yng terdiri dari masjid,rumah kiai, pondok,madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pesantren pola pertama lebih sederhana, dimana kiai menggunakan masjid atau rumahnya untuk mengajar, santri datang dari sekitar pondok dengan metode wetonan dan sorogan. Latar berdirinya pun pola pesantren ini biasanya karena inisiatif kiainya pribadi, tetapi sering pula karena adanya pihak sponsor, yakni tokoh atau anggota masyarakat yang mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan menjadi pesantren. Pesantren pola kedua, sedikit lebih maju, dilengkapi dengan pondok dan asrama untuk mukim para santri yang datang dari tempat lain, dengan metode pengajaran yang sama dengan pola pertama. Pola ketiga mulai mengkombinasikan sistem salaf dan moderen, dengan memakai sistem klasikal, dimana santri dapat datang dari mereka yang mukim didalam maupun mereka yang datang dari rumah masig-masing. Pola keempat merupakan perkembangan pola ketiga, di mana di samping menyelenggarakan sistem madrasah/klasikal juga menyiapkan latihan keterampilan kecakapan hidup ( life skills), misalnya: pertanian, peternakan, kerajinan tangan, bengkel, dan sebagainya. Adapun pola kelima tampil lebih lengkap dan evolusif dibandingkn dengan pola-pola sebelumnya, yang mendorong dilakukannya redefinisi tentang konsep pesantren pertamakali.
Selain unsur-unsur kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur organisasinya. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren meliputi potensi yang kompleks. Setiap pesantren akan memiliki corak yang khas , dilihat dari ;(1) status kelembagaan; (2) struktur organisasi ; (3) gaya kepemimpinan; dan (4) kaderisasi atau regenerasi kepemimpinannya. Dilihat dari statusnya sebuah lembaga pesantren dapat menjadi milik perorangan atau lembaga / yayasan yang menampilkan perpektif berbeda dalam merespon sistem pendidikan nasional. Kedua maca status pesantren memberikan implikasi berdeda pula terhadap struktur organisasi pesantren. Pesantren milik pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana dibandingkan dengan pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultus pesantren relatif berbeda antara keduanya . yang pertama lebih menonjolkan tanggung jawab untuk melestarikan nilai absolut pesantren dengan kiai sebagai sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren; sedangkan yang kedua lebih memperhatikan manajemen, dimana beberapa tugas pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian pekerjaan yang disepakati ( job discription).
Apapun polanya, lembaga pesantren di Indonesia saat ini telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat, termasuk dicantumkan pesantren dalam GBHN dan UU Sisdiknas utuk ditangani secara khusus. Untuk merespon kebijakan pemerintah tersebut, departemen agama RI melalui Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam telah menambah direktorat baru yang menangani pesantren, yakni; Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapotren). Hal ini mengandung implikasi bahwa dimasa mendatang pesantren sebagai pendidikan alternatf akan memiliki peluang besar untuk berperan sebagai agen pembangunan nasional. Oleh karena itu, secara terus menerus lembaga tersebut perlu ditingkatkan dan dikembangkan kapasitasnya dalam menyiapkan SDM Indonesia berkualitas. Salah satu upayanya adalah melalui pengembangan kurikulum pesantren secara sistematik, terencana dan bertujuan.

Senin, 30 November 2015

PERAN,TUGAS DAN FUNGSI PUSTAKAWAN



PERAN,TUGAS DAN FUNGSI PUSTAKAWAN 

Jadi pustakawan itu harus sadar diri, sadar akan tugas dan fungsinya. Sadar akan perannya, dan juga sadar untuk mengelolah.
Jika kesadaran itu tidak ada, maka mustahil seorang pustakawan itu bisa mengatur dan mengelola perpustakaan layaknya “ perpusakaan”. Yang ada perpustakaan itu hanya tempat menampung buku-buku, hanya di tata yang penting tidak berantakan tanpa peduli dengan mekanisme yang sebenarnya, jika ada yang pinjam di catat, dan jika tidak ada ya duduk-duduk doank, mainan Hp, atau malah ngerumpi gak jelas, dan lucunya jika ditanya sama pemustaka / pengunjungnya tentang buku apa yang bisa dijadikan referensi untuk tugas mereka, pustakawannya hanya bisa menjawab “ cari saja sendiri dirak-rak buku, bisa baca kan?” terlebih jika ditanya tentang profesinya, selalu menjawab “ saya penjaga perpust” .
Pantesan perpustakaannya hanya berfungsi sebagai tempat penampungan buku semata, bukan digunakan sebagaimana mestinya. Lah wong dia profesinya penjaga perpust, coba kalau profesinya pengelola perpust, jadi lain ceritanya.
Hai Mbk / Mas yang selama ini menganggap profesinya hanya sebagai penjaga perpust. Ketahuilah kita itu dibayar bukan untuk jadi satpam buku yang kerjanya hanya jagain buku, tapi kita itu dibayar dan diberi amanah untuk bisa mengelola dan memfungsikan perpustakaan itu sebagai sumber ilmu, sumber inspirasi dan tempat rekreasi...
Jika selama ini kalian masih tertidur atau setengah sadar, maka bangkitlah....wujudkan perpustakaan sebagaimana fungsinya . jika kau tidak mengetahui apa dan fungsi perpustakaan maka belajarlah kepada ahlinya. Kalian bisa berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan terdekat yang sudah menjalankan fungsi perpustakaan dengan baik, kalian juga bisa minta bimbingan di Perpustakaan Daerah , atau juga bisa magang selama satu atau dua hari di Perpustakaan Perguruan Tinggi. Pasti mereka akan membantu dengan senang hati.
Jangan dibilang mentang-mentang ann nulis kayak gini terus kalian menganggap bahwa ann mengerti tentang ilmu perpustakaan. TIDAK!! Ann juga belum mengerti tentang seluk beluk Ilmu Perpustakaan. Tapi ann juga belajar. Bertanya dari perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya, tak puas hanya disitu, ann juga bergabung dengan sebuah komunitas di luar kota, karna di tempat ann memang belum ada wadah atau komunitas yang mendukung.
Maaf , Ann tidak mencaci, atau tidak menyombongkan diri. Ann hanya ingin kalian bangkit, jangan putus asa jika kalian tidak di anggap, atau hanya dipandang sebelah mata, tunjukkan dengan prestasi dan karya-karyamu kepada mereka yang beranggapan negatif tentang mu, kalaupun mereka tidak menghargaimu, teruslah berkarya karna masih banyak orang-orang diluar sana yang bisa menghargai profesi kita.
Gak adil rasanya kalau Ann hanya ngomel-ngomel gak jelas kayak gini, Emmmmmm.......OK! Ann akan sedikit membahas apa itu pustakawan tugas dan fungsinya.


PUSTAKAWAN
Pustakawan adalah seorang tenaga kerja bidang perpustakaan , baik melalui pelatihan, kursus, seminar, maupun dengan kegiatan sekolah formal. Pustakawan adalah orang yang bertanggung jawab terhadap gerak majunya perpustakaan. Pustakawan harus mempunyai kemampuan berkominikasi sehingga dapat dengan mudah mengidentifikasi keperluan pemustaka, mampu mengembangkan teknik dan prosedur kerja dibidang perpustakaan, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk keperluan pengembangan perpustakaan, mampu melaksanakan penelitian dibidang perpustakaan , dokumentasi dan informasi secara mandiri.
Pustakawan merupakan salah satu sumber daya yang menggerakkan sumberdaya lain dalam organisasi perpustakaan yang memungkinkan perpustakaan dapat berperan secara optimal didalam melaksanakan tugas pokok, dan fungsinya. Dengan demikian, pustakawan menjadi ujung tombak keberhasilan dalam penyebarluasan informasi di perpustakaan.
Perpustakaan itu selalu dituntut agar selalu dapat memberikan pelayanan yang berkualitas bagi pemustaka, tetapi masih banyak perpustakaan yang belum dapat melakukan hal tersebut. Kualitas layanan pengguna tidak hanya ditentukan dari fasilitas dan koleksi bahan pustaka yang ada diperpustakaan, akan tetapi juga bagaimana cara pustakawan dalam memberikan pelayanan, seperti bagaimana cara pustakawan bersikap dan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.
Seorang pustakawan harus selalu berfikir positif. Seorang pustakawan seharusnya tidak hanya ahli dalam mengkatalog, mengklasifikasikan koleksi, akan tetapi harus mempunyai nilai tambah, karena informasi terus berkembang.
Peran pustakawan itu tidaklah ringan seperti pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa seorang pustakawan merupakan pegawai tak bermutu, yang kerjanya hanya menunggui tumpukan buku-buku. Pustakawan sudah saatnya mengekspresikan diri sebagai media iformasi yang berkualitas. Bukan hal yang mudah mengembalikan peran pustakawan sebagaimana mestinya sebagai media informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pustakawan dituntut untuk memberikan pelayanan yang memuaskan pemakai. Bagaimana kualitas pelayanan yang dapat memuaskan pemakai informasi? Salah satunya adalah peran aktif pustakawan yang kreatif dalam mengelola informasi. Pustakawan dituntut untuk aktif dan giat bekerja dalam menyampaikan informasi dalam aneka produk kemasan-kemasan yang menarik dan sampai kepada pemakai.
Tugas Pokok dan Fungsi Pustakawan
Pustakawan membantu lembaga merencanakan pengadaan buku-buku/ bahan pustaka / media elektronika. Pengurusan pelayanan perpustakaan, perencanaan pengembangan perpustakaan, pemeliharaan dan perbaikan buku-buku/ bahan pustaka/ media elektronika. Mengiventaris dan mengadministrasikan buku/ bahan pustaka/ media elektronika. Melakukan pelayanan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, serta masyarakat. Menyusun tata tertip perpustakaan, dan menyusun laporan pelaksanaan secara berkala.


Peran Pustakawan
1.       Menjadi mitra bagi pengguna
Menjadi mitra artinya harus turut mengambil bagian penting dalam kegiatan pengembangan akademik, ataupun penelitian. Dengan demikian tenaga perpustkaan atau pustakawan bukan sekedar mencarikan informasi dan memberi bantuan teknis demi peningkatan mutu kegiatan yang bersangkutan dan juga mutu dari lembaga itu sendiri.
2.       Keahlian Melek Informasi
Saat ini pustakawan dituntut tidak hanya trampil mengurusi buku atau jenis media informasi lain. Namun dituntut untuk bisa menguasai penelusuran informasi yang menjadi sebuah terobosan baru dan tantangan kedepan bagi pustakawan dalam mengemban tugas mulia untuk mengelola informasi yang ada di  perpustakaan dimana pustakawan tersebut bekerja.
Yang dimaksud melek informasi disini adalah kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi, dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan, mengidentifikasi sumber informasi, menemukan lokasi informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi kedalam pengetahuan yang ada, dan juga mengkomunikasikan informasi tersebut.

Sudah saatnya kita buktikan kepada orang-orang yang menganggap kita remeh, orang-oarang yang hanya memandang kita hanya dengan sebelah mata, bahwa pustakawan juga bisa berprestasi dibidangnya. Dan satu hal yang pasti. Mereka yang menghujat profesi kita, meremehkan profesi kita , mereka itu sejatinya tidak mampu mengerjakan apa yang kita kerjakan. Percayalah....
So, jangan berkecil hati hanya karna profesi kita sebagai pustakawan, karna pustakawan itu penyambung lidah dari informasi, dan berbanggalah karna pustakawan juga turut andil dalam mencerdaskan kehipupan bangsa.

Sulistyo-Basuki.(1993). Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia. Pustaka
http://www.tuanguru.com/2011.

Sabtu, 28 November 2015

PERCERAIAN



PERCERAIAN

Wanita manapun pastinya tidak menginginkan perceraian hadir dalam bahtera rumah tangganya. Namun siapa pun tidak dapat menolak datangnya takdir, jika itu harus terjadi maka terjadilah.
Akan tetapi pada umumnya banyak sekali wanita yang tidak mengerti bagaimana Islam mengatur tentang perceraian dalam rumah tangga.
Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak ( cerai ). Ini menunjukkan kepada kita bahwa perceraian bukanlah suatu tindakan yang haram. Memang tujuan kita menikah bukanlah untuk bercerai, tapi ketika kondisi pernikahan sudah tidak bisa memberikan barokah kepada kedua belah pihak, maka bercerai adalah jalan penyelesaian. Perceraian itupun terjadi secara baik-baik. Tanpa harus menyisakan sisa-sisa kemarahan atas kondisi penyebab perceraian atau persengketaan masalah pembagian harta setelah perceraian.
Mengapa perceraian adalah sesuatu hal yang halal tapi sangat dibenci Allah SWT? Karena ketika terjadi sebuah perceraian, silaturrahmi yang terputus tidak hanya antara suami dan istri. Tetapi juga silaturrahmi dua pihak keluarga. Dan yang paling mendapat pengaruh adalah kondisi anak-anak dari pasangan itu. Tetapi sekali lagi, perceraian tidak selalu merupakan suatu hal yang buruk.
Masalah perceraian ini, kita sering mendengar berita para selebritas yang bercerai dengan berbagai macam alasan mau tidak mau fenomena tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kita sebagai orang yang belum menikah. Entah itu memberikan pegaruh positif atau bahkan memberikan pengaruh negatif yang akan kita warnai pribadi kita.
Salah satu pengaruh negatif itu adalah munculnya ketakutan untuk menikah. Kita akan takut jika nantinya pernikahan kita pun akan menjadi seperti itu. Sedangkan pengaruh positifnya yang mungkin kita dapatkan adalah kita merasa terpancing untuk mempelajari berbagai penyebab orang bercerai. Proses itu sedikit demi sedikit akan memunculkan keinginan agar nanti ketika menika sebisa mungkin kita menghindari penyebab-penyebab perceraian tersebut.
Terlepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, fenomena nikah cerai secara pasti akan mengundang komentar masyarakat mengenai pribadi kita. Hal ini tidak mungkin kita pungkiri karena itu adalah salah satu konsekuensi hidup bermasyarakat, kita sebagai orang yang berkependidikan mungkin bisa memaklumi yang menjadi penyebab terjadinya perceraian itu, tapi lain halnya dengan masyarakat luas yang berbeda latar belakang dan tingkat pendidikan.
Pada dasarnya, perceraian adalah satu hal yang halal tapi sebisa mungkin harus kita hindari. Karena pasti itu tidak menjadi tujuan dari pernikahan kita. Yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita sebaik mungkin untuk menjalani kehidupan setelah pernikahan. Kita harus belajar mengendalikan ego dari sekarang. Karena banyak dari kasus perceraian pada saat ini sering terjadi disebabkan ego yang tidak terkendali. Da yang terpenting adalah menjadikan kasus-ksus tersebut sebagai pelajaran dalam mempersiapkan diri untuk menikah.


SEBAB SEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
1.       Orang Ketiga
Apabila ada orang ketiga berperilaku buruk seperti sisuami berselingkuh atau siistri juga demikian dan pasangan tidak bisa menerimanya. Hal ini bisa menjadi penyebab perceraian. Tergoda orang lain ( orang ketiga ) yang di anggap menggoda dari pasangan sendiri merupakan salah satu penyebab mengapa suami istri bercerai.
Perselingkuhan yang terjadi pada pernikahan dapat menghancurkan segalanya, tidak dapat dipungiri bahwa point ini menjadi hal yang paling sering menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu karena hadirnya orang ketiga. Sekali lagi, jika ingin mempertahankan pernikahan Anda, jalani penuh tanggungjawab kepada-Nya. Hal ini dapat menjadi nafsu pengendali duniawi semata dan jangan sampai tega menyakiti pasangan resmi kita beserta keluarga, yaitu anak.
2.       Penganiayaan
Adanya kekerasan didalam rumah tangga seperti si suami kerap main tangan yang melibatkan si istri tidak tahan karena orang yang sehausnya memberikan perlindungan dan mengayomi ternyata justru melakukan kekerasa fisik atau bahkan tindakan yang bisa mengancam jiwa juga menjadi penyebab rumah tangga tidak harmonis yang akhirnya berpisah.
Kekerasan fisik ( KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga ) merupakan hal yang paling sering dijadikan alasan seseorang dalam mengajukan gugatan perceraian. Meskipun sudah dilarang oleh negara, namun kekerasa fisik masih banyak terjadi.
3.       Tidak Memiliki Keturunan
Memiliki anak adalah dambaan setiap suami istri dalam rumah tangga. Apabila salah satu pihak diketahui tidak bisa memberikan keturunan contohnya si suami atau istri yang mandul juga bisa memicu salah satu pasangan untuk mengakhiri dan meninggalkan pasangannya.
4.       Masalah Bersenggama
Rumah tangga yang bahagia dan harmonis biasanya juga bahagia dalam kehidupannya. Hasrat berjima’ yang tidak terpenuhi dari pasagannya bisa menjadi penyebab hubungan suami istri tidak harmonis. Selalu menolak berjima’ karena lelah, tidak bergairah bisa menjadi alasan untuk mencari kepuasan diluar, akhirnya berselingkuh, ketahuan, bubar dan bercerai.
5.       Kurang Komunikasi
Penyebab utama hancurnya suatu hubungan rumah tangga di sebabkan oleh buruknya jalinan komunikasih antar pasangan. Jika ini terjadi maka akan muda timbul salah paham antar keduanya. Kesalahpahaman menjadi kunci utama terjadinya pertengkaranyang bisa berakibat buruk dalam rumah tangga. Masalah kurangnya komumikasih rentan terjadi pada kasus pernikahan campur ( dengan warga asing ), pernikahan beda agama, pernikahan beda kultur.
6.       Merasa Diabaikan
Perhatian yang tidak didapat dari pasangan membuat jurang pemisah semakin lebar, hal inilah yang ditenggarai menjadi salah satu faktor penting terhadap terjadinya kegagalan dalam suatu hubungan. Oleh karena itu, jika tidak ingin bahtera rumah tangga kita mengalami kehancuran, mulai untuk saling memberikan perhatian pada pasangan masing-masing. Walaupun suami istri yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan atau kantor, namun berusahalah tetap menjaga romantisme dalam rumah tangga dan pentingnya kebersamaan keluarga.
7.       Perkataan Kasar ( intimidasi )
Perkataan kasar atau tabiat kasar saat berbicara yang sering dilontarkan pasangan sering membuat merasa tidak dihargai oleh pasangan, selain dua hal diatas, alasan ini menjadi dua penyebab utama terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Terlebih jika ditambah dengan ancaman dan intimidasi dari pasangan. Jelas, cara tersebut tidak dibenarkan dan mungkin menanamkan kebencian dalam hati pasangan. Sebaiknya, hindari kemarahan yang meledak-ledak. Lebih baik diam, saling berintrospeksi dan memohon petunjuk-Nya saat benar-benar marah besar. Saat sudah tenang, bicarakan semua permasalahan dengan baik dan tutur kata yang lembut terhadap pasangan. Tentu pasangan akan menerima, mendengar dan melaksanakan dengan senang hati apa yang menjadi harapan pasangan.
8.       Rasa Saling Curiga
Rasa saling curiga biasanya hadir ketika tidak adanya jalinan komunikasi yang baik antar kedua pasangan, buruknya komunikasi akan memicu berbagai permasalah dimasa yang akan datang. Jika pasangan suami istri sudah tidak saling mempercayai, bagaimana rumah tangga akan berjalan mulus tanpa keributan?
9.       Masalah Finansial
Masalah finansial keluarga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik dalam rumah tangga, meskipun jarang yang menggunakan alasan ini saat ia mengajukan gugatan perceraian. Namun, jika terjadi ketimpangan pendapatan ekonomi antara suami dan istri, contohnya pendapatan yang diperoleh istri lebih besar, ini juga dapat memicu terjadinya konflik yang berujung pada perceraian.
10.   Tidak Lagi Tertarik Dengan Pasangan.
Perselingkuhan dapat terjadi saat seseorang mulai tidak terarik dengan pasangannya lagi. Rasa bosan sebenarnya merupakan hal yang wajar, namun tidak sepantasnya menggunakan alasan ini sebagai pembenaran jika dia telah mengikat janji setia dengan pasangannya. Agar pasangannya selalu tertarik, setiap pasangan harus menjaga komunikasi dengan baik, saling memahami kekurangan pasangan, menjaga penampilan di depan pasangan, dan selalu menjaga romantisme bersama pasangan.
Masalah dalam rumah tangga adalah wajar terjadi. Jadikan masalah tersebut sebuah pelajaran yang paling berharga untuk anda dan pasangan. Bicarakan semua permasalahan dengan baik-baik, tidak dengan emosi kemarahan. Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama ( terutama hal yang menyakiti pasangan ), saling berintrospeksilah terhadap permasalahan yang terjadi untuk melangkah lebih baik kedepannya dan lebih bahagia bersama, apalagi jika sudah dikaruniai anak. Tidak ada anak yang sesungguhnya bahagia terhadap kondisi perpisahan kedua orangtuanya.
11.   Krisis moral dan akhlak
Selan ketidak harmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami maupun istri, contohnya mabuk, berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
12.   Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mangatasi kesulitan akibat akibat pernikahan tanpa adanya cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah yang sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerja sama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.

13.   Istri tidak taat pada suaminya dalam hal-hal yang baik
Diantara kewajiban istri atas suaminya adalah , hendaknya seorang istri benar-benar menjaga amanah suami dirumahnya, baik harta suami dan rahasia-rahasianya, begitu juga bersungguh-sungguh mengurus urusan-urusan rumah.
Tidak patuh dan tidak taat kepada suami adalah wanita yang melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak ridho pada kedudukan yang Allah SWT telah tetapkan untuknya.
Bentuk ketidak taatan itu antara lain adalah :
Ø  Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ketempat tidur, dengan terang-terangan maupun dengan samar-samar.
Ø  Menghianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain
Ø  Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami kedalam rumah
Ø  Lalai dalam melayani suami
Ø  Mubadzir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya
Ø  Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya.keluar rumah tanpa izin suami
Ø  Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami..
Seorang istri sholihah akan senantiasa menempatkan ketaatan kepada suami diatas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan dalam kedurhakaan kepada allah SWT, ia akan taat kapan pun, dalam situasi apa pun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka, ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan cinta dan memelihara kesetiaan suami.
14.   Hubungan yang kurang baik antara seorang istri dengan orang tua suaminya ( mertua sang istri)
Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada diriya. Tak boleh sedikitpun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya, termasuk juga kepada orang tua si suami. Padahal, disatu sisi, suami harus berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya.
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu mertuanya. Ia menggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang sebagian istri berani menghina  dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya. Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan masalah , bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami.
Ada  juga seoarang istri yang menuntut suaminya agar lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari keluarganya denggan berbagai cara.
Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga pernikahan antar keluarga.kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah keluarga istri, begitu juga sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam keluarga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami. Akan tetapi jika sebaliknya hal ini dapat berakibat pada perceraian.
15.   Kondisi fisik istri yang sangat buruk, misalnya, seorang istri tidak bisa menjaga kebersihan dirinya dan tidak pernah berpakian bagus serta tidak mau memakai wangi-wangian di depan suaminya. Atau tidak bisa mengucapkan perkataan yang baik dan selalu bermuka masam ( cemberut ) ketika bertemu dan berkumpul dengan suami atau keluarganya.
16.   Suami yang tidak penyabar. Mungkin, faktor ini terjadi karena kelalaiannya, ataupun ketidak tahuannya watak dasar dan tabiat wanita yang Allah ciptakan. Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok
17.   Kondisi rumah tangga yang jauh dari suasana religius serta taat kepada Allah, apalagi jika di dalam rumah itu terdapat berbagai macam sarana yang merusak, seperti: siaran televisi, majalah-majalah ataupun cd-cd yang meruntuhkan sendi-sendi moral.
18.   Adanya masalah-masalah dalam pernikahan
Dalam sebuah pernikahan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam pernikahan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami istri.
19.   Sibuk diluar rumah
Seorang istri terkadang banyak kesibukan diluar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin dari suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya.jangan sampai aktifitas tersebut melalaikan tanggung jawabnya sebagai seoarang istri. Jangan sampai amanah yang dipikulnya terabaikan.
Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap, anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika ini terjadi terus menerus , bisa jadi suami tidak betah dirumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya diluar atau dikantor dan dapat juga berakibat pada perceraian.
20.   Perkembangan sosio-emosional dari masing-masing pasangan.
Perkembangan sosio-emosional dihubungkan dengan dimensi penerimaan diri, otonomi dan ekspresi dari pasangan. Masalah-masalah dalam komunikasi dianggap sebagai masalah utama penyebab perceraian, baik itu laki-laki maupun wanita. Secara umum wanita lebih cenderung untuk merasa stres dan memiliki masalah dalam penyesuaian pernikahan dari pada laki-laki, kestabilan identitas maskulin dari suami, tingkat pendidikan, status sosial dan kemampuan untuk menerima semua bentuk pengekspresian emosi berdampak terhadap kebahagiaan pernikahan. Kestabilan pernikahan juga tergantung pada bagaimana masing-masing pasangan mencapai perasaan dan identitas dirinya. Pencapaian ini akan membantu untuk membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghormati yang menjadi pusat dari emosional dan keintiman intelektual.

Allah SWT telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang harus disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Allah SWT. Seorang manusia tak akan selamanya merasa bahagia dan juga tak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode  kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti  hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.

B. Ward Powers.2011. perceraian dan perkawinan kembali. Jakarta. Yayasan Komunikasi Bina Kasih
Nur’aisyah Albantany. Plus Minus Perceraian Wanita dalam Kacamata Islam. Tanggerang.  Sealova Media, 2014.