Judul Buku : Manajemen Pesantren
Penulis : Sulton Masyhud
Khusnurdilo
Penerbit : Diva Pustaka
Tahun Terbit :
2005
Halaman : 198 halaman.
MANAJEMEN PESANTREN
Manajemen Pesantren? Apa perlu pesantren menerapkan
manajemen? Kalau ya, manajemen yang bagaimana?
Kita mafhum bahwa pesantren lekat dengan figur Kiai. Kiai
dalam pesantren adalah figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan
dan perubahan. Oleh sebab itu, perubahan atau inovasi apapun yang dilakukan di
pesantren semestinya berangkat dari “kemauan” pihak pesantren sendiri, dalam
hal ini kiai memegang peranan penting.
Banyak contoh pesantren yang maju disebabkan karena sentuhan
inovasi yang dilakukan kiai sendiri. Pernyataan ini bukan bukan berarti
menafikan pengaruh dari luar. Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970-an pernah
melancarkan modernisasi pesantren yang
diarahkan pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar
lebih reponsif terhadap kebutuhan tantangan zaman ( pembangunan). Selai itu,
pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai slah
satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan posisi dan kedudukannya
yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat
pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan
pembangunan yang berorientasi pada nilai. Melalui gagasan itulah pesantren
diharapkan tidak lagi sekedar menjadi lembaga pendidikan, tetapi sekaligus
menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna
bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi
masyarakat disekitarnya.
Menghadapi gagasan modernisasi
tersebut, respon dunia pesantren tampak terbelah. Sebagian pesantren menolak
campur tangan pemerintah dalam pendidikan pesantren karena dianggap bakal
mengancam eksistensi pendidikan khas pesantren. Khas lain lebih menerapkan “
kebijakan hati-hati” tetapi sebagian besar pesantren memberikan respon adaptif
dengan mengadopsi sistem persekolahan ( baik berbentuk madrasah maupun sekolah
umum) meskipun sebagai konsekueni logis, melepaskan sebagian esensial dari
fungsi tradisional mereka sebagai lembaga pendidikan yang emalkukan transfer
ilmu-ilmu agama ( tafaqquh fi aldin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values) .
Saat ini pesantren telah mengalami
perkembangan luar biasa dengan variasi yang sangat beragam. Bahkan beberapa
pesantren telah mucul bak sebuah “ kampus Mercusuar” yang memiliki berbagai
kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi santri, tidak hanya segi
akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan
material. Meskipun tetap mempertahankan dan keaslian isi ( curriculum content)
yang sudah ada, misalnya sorogan dan bandongan, kebanyakan pesantren mengadopsi
sistem persekolahan yang klasikal-formal.
Sejalan dengan penyelenggaraan
pendidikan formal, beberapa pesantren juga mulai menerapkan manajemen modern
yang ditandai dengan pola kepemimpinan yang distributif, organisasi yang
terbuka, dan administrasi pengelolaan
keuangan yang transparan. Meskipun jumlah pesantren yang menerapkan pola ini
sangat kecil, perkembangan ini tentu menarik untuk dicermati. Dari beberapa
kasus, perkembangan ini dimulai dari perubahan gaya kepemimpinan pesantren;
dari kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter-paternalistik ke
diplomatik-partisipatif, atau dari laissez faire ke demokratik. Sebagai contoh
kasus, kedudukan “Dewan Kiai” di Pesantren Tebu irengmenjadi bagian atau salah
satu unit kerja kesatuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren,
sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit pesantren dan
tidak terlalu terpusat pada kiai. Pegaruh sistem pendidikan formal menurut
kejelasan pola hubungan dan pembagian kerja diantara unit-unit kerja.
Kasus lain, beberapa pesantren
sudah membentuk badan pengurus harian sebagai “lembaga Payung” yang khusus
mengelola dan menangani kegiatan-kegiatan pesantren, misalnya pendidikan
formal, diniyah, pengajian majlis ta’lim, sampai pada masalah penginapan (
asrama ) santri, kerumahtanggaan, kehumasan, dan sebagainya. Pada type pesantren
ini pembagian kerja antar unit sudah berjalan dengan baik, meskipun tetap saja
kiai memiliki pengaruh yang kuat.
Sayangnya, perkembangan tersebut
tidak merata disemua pesantren. Secara umum pesantren masih menghadapi kendala
serius menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia profesional, misalnya tiada
pemisahan yang jelas antara yayasan , pimpinan madrasah, guru dan staf
administrasi; tidak adanya transparansi pengelola sumber-sumber keuangan, belum
terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan; dan banyaknya penyelenggaraan
administrasi yang tidak sesuai dengan standar, serta unit-unit kerja tidak
berjalan sesuai dengan aturan organisasi. Kiai masih merupakan figur sentral
dan penentu kebijakan pendidikan pesantren.
Keadaan ini jika ditilik dari
sudut pandang manajemen modern memang kurang baik. Namun, pernyataan ini harus
dikatakan secara hati-hati. Sebab, kultur pesantren tidak bisa dilihat secara
hitam-putih dab dipertentangkan dengan kultur modern. Bagi sebagian pengasuh
pesantren barangkali ada beban psikologis untuk menerapkan begitu saja manajemen
modern. Hubungan personal yang begitu lekat di pesantren tidak bisa diganti
dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam manajemen modern. Hubungan
kiai-santri, atau kiai dan masyarakat selama ini terbangun dari hubungan
personal dan spiritual. Bantuan masyarakat yang diberikan kepada pesantren
kerap kali tanpa ada perjanjian hitam diatas putih alias ikhlas dan lillahita’ala.
Masyarakat tidak mempersoalkan apakah bantuan itu sampai atau tidak kepada yang
berhak karenakepercayaan kepada kiai jauh lebih besar dan mengalahkan
kecurigaan. Begitu halnya kiai yang menerima amanah akan mempergunakan bantuan
itu untuk kepentingan pesantren, terlepas bagaimana dan cara apa
mendistribusikannya.
Kerumitan dan permasalahan ini
menyebabkan antara normativitas dan kondisi obyektif pesantren ada kesenjangan,
termasuk dalam penerapan teori manajemen pendidikan. Semata-mata berpegangan
pada normativitas dengan mengabaikan kondisi obyektif yang terjadi dipesantren
adalah tindakan kurang bijaksana, kalau tidak dikatakan gagal memahami
pesantren. Akan tetapi, membiarkan kondisi itu berjalan terus tanpa ada
pembenahan juga tidak arif. Di sini penerapan manajemen pendidikan tidak bisa
serta merta diterapkan tanpa mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang
riil dipesantren. Harus ada toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara
wajar tanpa mengundang konflik.
PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN
Pegembangan kurikulum pesantren
pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang
berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam
Garis-garis Besar haluan Negara. Oleh karena itu, pengembangan tersebut hendaknya
mengakomodasi tuntutan-tuntutan sistematik ( Depdiknas, Depag/Pekapontren) dan
lebih-lebih tuntutan-tuntutan sosiologis masyarakat Indonesia. Visi tersebut
secara rinci mencakup terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju
dan sejahtera, dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia indonesia yang
sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air,
berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
memiliki ettos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Secara konseptual, sebenarnya
lembaga pesantren optimis akan mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan
nasional diatas, karena fleksibilitas dan keterbukaan sistematik yang melekat padanya.
Dengan kata lain, perwujutan masyarakat berkualitas diatas dapat dibangun melalui
perubahan kurikulum pesantren yang berusaha membekali peserta didik untuk
menjadi subyek pembangunan yang mampu mmenampilkan keunggulan dirinya yang
tangguh, kreatif, dan profesional pada biidangnya masing-masing. Namun, perlu
diingat bahwa kurikulum hanya merupakan salah satu subsistem lembaga pesantren,
proses pengembangannya tidak boleh bertentangan dengan kerangka penyelenggaraan
pesantren yang dikenal khas, baik dalam isi da pendekatan yang digunakan.
Realitas menunjukkan saat ini lembaga pesantren telah
berkembang secara bervariasi baik dilihat dari segi isi ( kurikulum ) dan
bentuk / manajemen / struktur organisasinya. Hasan Basri 9 dalamNata,
2001;120-1210) menggambarkan lembaga non formal ini kedalam lima pola, yakni
(1) pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kiai; (2) pesantren yang
terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok atau asrama; (3) pesantren yang terdiri
dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah; (4) pesantren yang terdiri dari
masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan dan (5) pesantren
yng terdiri dari masjid,rumah kiai, pondok,madrasah, tempat ketrampilan,
universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pesantren pola pertama lebih
sederhana, dimana kiai menggunakan masjid atau rumahnya untuk mengajar, santri
datang dari sekitar pondok dengan metode wetonan
dan sorogan. Latar berdirinya pun
pola pesantren ini biasanya karena inisiatif kiainya pribadi, tetapi sering
pula karena adanya pihak sponsor, yakni tokoh atau anggota masyarakat yang
mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan menjadi pesantren. Pesantren pola kedua,
sedikit lebih maju, dilengkapi dengan pondok dan asrama untuk mukim para santri
yang datang dari tempat lain, dengan metode pengajaran yang sama dengan pola
pertama. Pola ketiga mulai mengkombinasikan sistem salaf dan moderen, dengan
memakai sistem klasikal, dimana santri dapat datang dari mereka yang mukim
didalam maupun mereka yang datang dari rumah masig-masing. Pola keempat
merupakan perkembangan pola ketiga, di mana di samping menyelenggarakan sistem
madrasah/klasikal juga menyiapkan latihan keterampilan kecakapan hidup ( life
skills), misalnya: pertanian, peternakan, kerajinan tangan, bengkel, dan
sebagainya. Adapun pola kelima tampil lebih lengkap dan evolusif dibandingkn
dengan pola-pola sebelumnya, yang mendorong dilakukannya redefinisi tentang
konsep pesantren pertamakali.
Selain unsur-unsur kelembagaan,
karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur organisasinya. Struktur
organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren meliputi potensi yang kompleks. Setiap
pesantren akan memiliki corak yang khas , dilihat dari ;(1) status kelembagaan;
(2) struktur organisasi ; (3) gaya kepemimpinan; dan (4) kaderisasi atau
regenerasi kepemimpinannya. Dilihat dari statusnya sebuah lembaga pesantren
dapat menjadi milik perorangan atau lembaga / yayasan yang menampilkan
perpektif berbeda dalam merespon sistem pendidikan nasional. Kedua maca status
pesantren memberikan implikasi berdeda pula terhadap struktur organisasi
pesantren. Pesantren milik pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana
dibandingkan dengan pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultus
pesantren relatif berbeda antara keduanya . yang pertama lebih menonjolkan
tanggung jawab untuk melestarikan nilai absolut pesantren dengan kiai sebagai
sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren; sedangkan yang
kedua lebih memperhatikan manajemen,
dimana beberapa tugas pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian
pekerjaan yang disepakati ( job
discription).
Apapun polanya, lembaga pesantren
di Indonesia saat ini telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dan
masyarakat, termasuk dicantumkan pesantren dalam GBHN dan UU Sisdiknas utuk
ditangani secara khusus. Untuk merespon kebijakan pemerintah tersebut, departemen
agama RI melalui Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam telah menambah
direktorat baru yang menangani pesantren, yakni; Direktorat Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapotren). Hal ini mengandung implikasi
bahwa dimasa mendatang pesantren sebagai pendidikan alternatf akan memiliki
peluang besar untuk berperan sebagai agen pembangunan nasional. Oleh karena
itu, secara terus menerus lembaga tersebut perlu ditingkatkan dan dikembangkan
kapasitasnya dalam menyiapkan SDM Indonesia berkualitas. Salah satu upayanya
adalah melalui pengembangan kurikulum pesantren secara sistematik, terencana
dan bertujuan.